Rabu, 28 Maret 2012

akalisia


PEMBAHASAN
A.   Pengertian
Kegagalan relaksasi serat-serat otot polos saluran cerna pada persimpangan bagian yang satu dengan yang lain khususnya kegagalan sfingter esofagogaster untuk mengendur pada waktu menelan akibat degenerasi sel-sel ganglion pada organ itu. (kamus saku kedokteran Dorland, 2007).
Gagal melemas; menandakan relaksasi inkomplet sfingter esofagus bawah sebagai respons terhadap menelan yang menimbulkan obstruksi fungsional esofagus yang menyebabkan esofagus  proksimal mengalami dilatasi. (buku ajar patologi robbins,2007).
Suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristalsis korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. (buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I, 2006).
Kesimpulan, akalasia adalah kegagalan sfingter esofagogaster untuk mengendur yang berakibat pada obstruksi fungsional esophagus sehingga tidak biasa menelan makanan secara sempurna.

AKALASIA ESOFAGUS



akalasia

B.   Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal yang menyebabkan control neurologis dan sebagai akibatnya gelombang peristaltic primer tidak mencapai spingter esophagus bawah untuk merangsang relaksasi Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, dan autoimun adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.
C.   patofisiologi
1.      Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia.
2.      Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.
3.      Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.

D.   Manifestasi Klinik
1.      Disfagia (sukar menelan)
klien mengalami disfagia atau sukar menelan baik untuk makanan padat maupun cair. Sifat pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi selama bertahun-tahun sebelum diagnosis diketahui secara jelas. Letak obstruksi biasanya dirasakan pada retrosternal bagian bawah.
2.      Regurgitasi
Kilen mengalami regurgitasi atau aliran kembali. Hal ini berhubungan dengan posisi klien (seperti saat berbaring) dan sering terjadi pada malam hari karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Namun, ciri khasnya adalah klien tidak merasa asam ataupun pahit.
3.      Penurunan berat badan
Hal ini disebabkan karena klien takut makan akibat adanya odinofagia(nyeri menelan). Namun, jika penyakit ini sudah berlangsung lama akan terjadi kenaikan berat badan karena pelebaran esofagus akibat retensi makanan dan akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah (SEB).
4.      Gejala yang menyertai gejala utama, seperti nyeri di dada. Gejala ini dialami sekitar 30% kasus tetapi tidak begitu dirasakan oleh klien. Sifat nyeri dengan lokasi substernal dan biasanya dirasakan apabila meminum air dingin. Hal ini merupakan akibat komplikasi retensi makanan dalam bentuk batuk dan pneumonia aspirasi.

E.   Pathways
F.    Masalah keperawatan
1.      Defisit volume cairan
2.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3.      Nyeri akut
G.  Intervensi
1.      Defisit volume cairan
a.       Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
b.      Monitor status hidrasi (kelembaban, membran)
c.       Monitor vital sign
d.      Monitor masukan makanan atau cairan
2.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
a.       BB pasien dalam batas normal
b.      Monitor adanya penurunan berat badan
c.       Monitor interaksi anak dengan orang tua
d.      Monitor turgor kulit
e.       Monitor mual muntah
f.       Monitor pertumbuhan dan perkembangan
3.      Nyeri akut
a.       Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b.      Observasi reaaksi non verbal dari ketidaknyamanan
c.       Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
d.      Kaji tipe dan sumber nyeri untuk melakukan intervensi
e.       Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil

H.  Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam penegakan diagnosis pada suatu penyakit, ini harus dikorelasikan dengan temuan klinis dan riwayat penyakitnya. Pada foto polos toraks pasien achalasia tidak menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like appearance. Rontgenogram thorax bisa menunjukkan pelebaran mediastinum akibat esophagus yang berdilatasi mengandung batas udara-cairan. Tanda aspirasi paru menahun bias terlihat. Evaluasi cinefluoroscopic esophagus akan menunjukkan tiga stadium :
a.       Stadium 1 atau akalasia ringan, memperlihatkan tidak ada atau sedikit dilatasi dengan retensi minimum materi kontraks proksimal terhadap sphincter esophagus bawah.Kontraksi giat esophagus dapat terlihat dalam stadium ini dan mungkin sulit dibedakan dari spasme esophagus difus.
b.      Stadium 2, memperlihatkan lebih banyak dilatasi dengan kontraksi non peristaltik yang lemah dan sambungan esophagogaster meruncing, yang menggambarkan sphincter distal tidak relaksasi atau tertutup rapat.
c.       Stadium 3, memperlihatkan esophagus sangat besar dengan retensi makanan dansering penampilan seperti sigmoideum
2.      Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensidan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan adatidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagusdengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagianproksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dankadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter esofagusbawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop danesofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah,
3.      Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk memulai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaantekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkankelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan denganmemasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah.Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya.Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagusmeningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi prosesmenelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadirelaksasi sfingter pada waktu menelan.
4.      Menelan barium atau esofago gastro duodenoskopi (EGD) pemantauan pH esofagusatau manometer.
Pemeriksaan radiologis barium biasa dikombinasikan dengan pemeriksaan diagnostic lambung dan duodenum (rangkaian pemeriksaan radiologis gasyrointestinal bagian atas menggunakan barium sulfat) menggunakan barium sulfat dalam cairan ataususpens kri yang ditelan . Mekanisme menelan dapat terlihat secara langsung dengan pemeriksaan fluoroskopi atau perekaman gambaran radiografik. Bila dicurigai terdapatkelainan esophagus ahli radiologi dapat meletakkan penderita dalam berbagai posisi.
5.      Pemeriksaan motilitas
Berfungsi memeriksa bagian motorik esophagus dengan menggunakan kateter peka tekanan atau balon mini mg diletakkan dalam lambung dan kemudian naikkankembali. Tekanan kemudian ditransmisi ke transduser yang diletakkan di luar tubuhpenderita , pengukuran perubahan tekanan esophagus dan lambung sangat menambah pengertian aktivitas esophagus pada keadaan sehat atau sakitsaat istirahat dan selama menelan.

I.      Penatalaksanaan
1.     Medikamentosa
a.       Obat antagonis kalsium, nifedipin 10-20 mg peroral dapat menurunkan tekanan SEBpasien dengan akalasia ringan sampai sedang. Hasil pengobatan ini didapatkanperbaikan gejala klinis pasien sampai dengan 18 bulan bila dibandingkan denganplacebo. Pemakaian preparat nifedipin sublingual,15-30 menit sebelum makanmemberikan hasil yang baik.
b.      Amilnitrit dapat digunakan pada waktu pemeriksaan esofagogram yang akanberakibat relaksasi pada daerah kardia.
c.       Isosorbit dinitrat dapat menurunkan tekanan sfingter esophagus bagian bawah danmeningkatkan pengosongan esophagus.
2.     Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. D engan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari sfingter esofasus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/Ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari sfingter esophagus bawah
3.     Dilatasi SEB
Dengan cara sederhana menggunakan businasi hurst yang terbuat dari bahan karetyang berisi air raksa dalam ukuran F (French) mempunyai 4 jenis ukuran. Prinsip kerjanya berdasarkan gaya berat yang dipakai dari ukuran terkecil sampai terbesar secaraperiodik. Keberhasilan businasi ini hanya pada 50 % tanpa kambuh, 30 % sedang danterjadi kambuh sedangkan 15% gagal.
Dengan menggunakan dilatasi pneumatik. Dilatasi ini dapat dilakukan dengancara memasukan tabung yang berisi air raksa yang disebut bougie atau lazim disebutdengan kantong pneumatic yang diletakan di daerah sfingter esophagus bagian bawah,ditiup kuat.
Pasien harus dipuasakan dulu selama 12 jam dan dilakukan pemasangan dengan panduan fluoroskopi. Posisi balon harus berada di atas hiatus diafragmatika dan setengah lagi dalam gaster. Balon dikembangkan secara maksimal dan secepat mungkin agar peregangan SEB seoptimal mungkin, selama 60 detik setelah itu dikempiskan.Untuk satukali pengobatan, pengembangan balon tidak melebihi dua kali.
Tanda-tanda pengobatan berhasil bila pasien merasa nyeri bila balon ditiup dansegera menghilang jika balon dikempiskan. Bila nyeri menetap, kemungkinan terjadi perforasi.
4.     Miotomy heller
Pembelahan serabut-serabut otot perbatasan esophagus-lambung. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembaliberaktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan iniberhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks post operatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapiutama dalam penanganan akalasia esofagus.
Piloroplasti (pelebaran pintu keluar lambung) sering dilakukan bersamaan agar dapat mengosongkan isi lambung dengan cepat dan mencegah refluk ke dalam esophagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar