PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kegagalan
relaksasi serat-serat otot polos saluran cerna pada persimpangan bagian yang satu
dengan yang lain khususnya kegagalan sfingter esofagogaster untuk mengendur
pada waktu menelan akibat degenerasi sel-sel ganglion pada organ itu. (kamus
saku kedokteran Dorland, 2007).
Gagal
melemas; menandakan relaksasi inkomplet sfingter esofagus bawah sebagai respons
terhadap menelan yang menimbulkan obstruksi fungsional esofagus yang
menyebabkan esofagus proksimal mengalami
dilatasi. (buku ajar patologi robbins,2007).
Suatu
keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristalsis korpus esofagus
bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga
tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan.
(buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I, 2006).
Kesimpulan,
akalasia adalah kegagalan sfingter esofagogaster untuk mengendur yang berakibat
pada obstruksi fungsional esophagus sehingga tidak biasa menelan makanan secara sempurna.
B. Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui.
Secara histologik diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus
Auerbach sepanjang esofagus pars torakal yang menyebabkan control neurologis
dan sebagai akibatnya gelombang peristaltic primer tidak mencapai spingter
esophagus bawah untuk merangsang relaksasi Dari beberapa data disebutkan bahwa
faktor-faktor seperti herediter, infeksi, dan autoimun adalah kemungkinan penyebab
dari akalasia.
C. patofisiologi
1.
Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia.
2.
Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio
dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus
uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling
kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi
spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran
pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang
memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang
terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut.
Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella
zoster pada pasien akalasia.
3.
Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh
limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi
tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit
autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi
dari pleksus mienterikus.
D. Manifestasi
Klinik
1.
Disfagia (sukar menelan)
klien
mengalami disfagia atau sukar menelan baik untuk makanan padat maupun cair. Sifat
pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi selama bertahun-tahun sebelum diagnosis
diketahui secara jelas. Letak obstruksi biasanya dirasakan pada retrosternal bagian
bawah.
2.
Regurgitasi
Kilen
mengalami regurgitasi atau aliran kembali. Hal ini berhubungan dengan posisi klien
(seperti saat berbaring) dan sering terjadi pada malam hari karena adanya akumulasi
makanan pada esofagus yang melebar. Namun, ciri khasnya adalah klien tidak
merasa asam ataupun pahit.
3.
Penurunan berat badan
Hal ini
disebabkan karena klien takut makan akibat adanya odinofagia(nyeri menelan). Namun,
jika penyakit ini sudah berlangsung lama akan terjadi kenaikan berat badan karena pelebaran esofagus akibat
retensi makanan dan akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter
esofagus bagian bawah (SEB).
4.
Gejala yang menyertai gejala utama, seperti nyeri di
dada. Gejala ini dialami sekitar 30% kasus tetapi tidak begitu dirasakan oleh klien. Sifat nyeri dengan lokasi substernal dan biasanya dirasakan apabila meminum air dingin. Hal
ini merupakan akibat komplikasi retensi
makanan dalam bentuk batuk dan pneumonia aspirasi.
E. Pathways
F. Masalah keperawatan
1.
Defisit volume cairan
2.
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
3.
Nyeri akut
G. Intervensi
1.
Defisit volume cairan
a.
Pertahankan catatan
intake dan output yang akurat
b.
Monitor status hidrasi
(kelembaban, membran)
c.
Monitor vital sign
d.
Monitor masukan makanan
atau cairan
2.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
a.
BB pasien dalam batas
normal
b.
Monitor adanya
penurunan berat badan
c.
Monitor interaksi anak
dengan orang tua
d.
Monitor turgor kulit
e.
Monitor mual muntah
f.
Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
3.
Nyeri akut
a.
Lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b.
Observasi
reaaksi non verbal dari ketidaknyamanan
c.
Gunakan
tehnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
d.
Kaji
tipe dan sumber nyeri untuk melakukan intervensi
e.
Kolaborasikan
dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
H. Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam penegakan diagnosis pada
suatu penyakit, ini harus dikorelasikan dengan temuan klinis dan riwayat
penyakitnya. Pada
foto polos
toraks pasien achalasia tidak menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada
bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah
posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan
fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan
gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan di bagian distal
esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like appearance.
Rontgenogram thorax bisa menunjukkan pelebaran mediastinum akibat esophagus yang
berdilatasi mengandung batas udara-cairan. Tanda aspirasi paru menahun bias
terlihat. Evaluasi cinefluoroscopic esophagus akan menunjukkan tiga stadium :
a.
Stadium 1 atau akalasia ringan, memperlihatkan tidak
ada atau sedikit dilatasi dengan retensi minimum materi kontraks proksimal
terhadap sphincter esophagus bawah.Kontraksi giat esophagus dapat terlihat
dalam stadium ini dan mungkin sulit dibedakan dari spasme esophagus difus.
b.
Stadium 2, memperlihatkan lebih banyak dilatasi dengan
kontraksi non peristaltik yang lemah dan sambungan esophagogaster
meruncing, yang menggambarkan sphincter distal tidak relaksasi atau tertutup
rapat.
c.
Stadium 3, memperlihatkan esophagus sangat besar
dengan retensi makanan dansering penampilan seperti sigmoideum
2.
Pemeriksaan
Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan
pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien akalasia
oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensidan
derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan
adatidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen
esofagusdengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan
cairan di bagianproksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna
pucat, edema dankadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi
makanan. Sfingter esofagusbawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan
pada esofagoskop danesofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah,
3.
Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk memulai fungsi motorik esofagus dengan melakukan
pemeriksaantekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk
memperlihatkankelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif.
Pemeriksaan dilakukan denganmemasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui
mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan
esofagus dan sfingter esofagus bawah.Pada badan esofagus dinilai tekanan
istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah
yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya.Gambaran
manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagusmeningkat, tidak
terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi prosesmenelan.
Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak
terjadirelaksasi sfingter pada waktu menelan.
4.
Menelan barium atau esofago gastro duodenoskopi (EGD) pemantauan pH esofagusatau
manometer.
Pemeriksaan radiologis barium biasa dikombinasikan dengan pemeriksaan diagnostic lambung dan duodenum
(rangkaian pemeriksaan radiologis gasyrointestinal bagian atas menggunakan barium
sulfat) menggunakan barium sulfat dalam cairan ataususpens kri yang ditelan .
Mekanisme menelan dapat terlihat secara langsung dengan pemeriksaan fluoroskopi atau
perekaman gambaran radiografik. Bila dicurigai terdapatkelainan esophagus ahli
radiologi dapat meletakkan penderita dalam berbagai posisi.
5.
Pemeriksaan motilitas
Berfungsi memeriksa bagian motorik esophagus dengan menggunakan
kateter peka tekanan atau balon mini mg diletakkan dalam lambung dan
kemudian naikkankembali. Tekanan kemudian ditransmisi ke transduser yang
diletakkan di luar tubuhpenderita , pengukuran perubahan tekanan esophagus dan
lambung sangat menambah
pengertian
aktivitas esophagus pada keadaan sehat atau sakitsaat istirahat dan selama menelan.
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a.
Obat antagonis kalsium, nifedipin 10-20 mg peroral
dapat menurunkan tekanan SEBpasien dengan akalasia ringan sampai sedang. Hasil
pengobatan ini didapatkanperbaikan gejala klinis pasien sampai dengan 18 bulan
bila dibandingkan denganplacebo. Pemakaian preparat nifedipin sublingual,15-30
menit sebelum makanmemberikan hasil yang baik.
b.
Amilnitrit dapat digunakan pada waktu pemeriksaan
esofagogram yang akanberakibat relaksasi pada daerah kardia.
c.
Isosorbit dinitrat dapat menurunkan tekanan sfingter
esophagus bagian bawah danmeningkatkan pengosongan esophagus.
2. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat
pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan
keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. D engan menggunakan endoskopi, toksin
diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding
esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa
kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini
terletak tepat di atas batas proksimal dari sfingter esofasus bawah dan
toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang
digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/Ml
untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari sfingter esophagus bawah
3. Dilatasi SEB
Dengan cara sederhana menggunakan businasi hurst yang terbuat dari bahan
karetyang berisi air raksa dalam ukuran F (French)
mempunyai 4 jenis ukuran. Prinsip kerjanya berdasarkan gaya berat yang dipakai
dari ukuran terkecil sampai terbesar secaraperiodik. Keberhasilan businasi ini
hanya pada 50 % tanpa kambuh, 30 % sedang danterjadi kambuh sedangkan 15%
gagal.
Dengan menggunakan dilatasi pneumatik. Dilatasi ini dapat dilakukan
dengancara memasukan tabung yang berisi air raksa yang disebut bougie atau
lazim disebutdengan kantong pneumatic yang diletakan di daerah sfingter esophagus
bagian bawah,ditiup kuat.
Pasien harus
dipuasakan dulu selama 12 jam dan dilakukan pemasangan dengan panduan fluoroskopi. Posisi balon
harus berada di atas hiatus diafragmatika dan setengah lagi dalam gaster. Balon
dikembangkan secara maksimal dan secepat mungkin agar peregangan SEB
seoptimal mungkin, selama 60 detik setelah itu dikempiskan.Untuk satukali pengobatan,
pengembangan balon tidak melebihi dua kali.
Tanda-tanda pengobatan berhasil bila pasien merasa nyeri bila balon
ditiup dansegera menghilang jika balon dikempiskan. Bila nyeri menetap,
kemungkinan terjadi
perforasi.
4. Miotomy heller
Pembelahan serabut-serabut otot perbatasan esophagus-lambung. Operasi
ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter
esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh
partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah
sakit selama 24-48 jam, dan kembaliberaktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2
minggu. Secara efektif, terapi pembedahan iniberhasil mengurangi gejala sekitar
85-95% dari pasien, dan insidens refluks post operatif adalah antara 10% dan
15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang
tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai
terapiutama dalam penanganan akalasia esofagus.
Piloroplasti (pelebaran pintu keluar lambung) sering dilakukan bersamaan
agar dapat mengosongkan isi lambung dengan cepat dan mencegah refluk ke
dalam esophagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar